Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia
Apa jadinya jika anak-anak muda anonim pencetus sumpah pemuda bangkit
dari kubur dan mendapati anak-anak muda sekarang saat bicara dan menulis
lebih suka nginggris ketimbang menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
Siswa sekolah pun kini menempatkan bahasa Indonesia pada nomor urut
sepatu, tidak lagi menjadi pelajaran favorit. Tidak favorit berarti
tidak penting untuk dipelajari. Ini terbukti dari hasil ujian nasional
(UN) tiga tahun terakhir terus menurun.
Untuk SMP, nilai rata-rata UN Bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7,46,
tahun 2007 menjadi 7,39, dan tahun 2008 menjadi 7,00. Untuk tingkat SMA
Jurusan Bahasa, nilai rata-rata Bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7,40,
kemudian 2007 turun 7,08, dan tahun 2008 menjadi 6,56. Hal yang sama
terjadi untuk SMA Jurusan IPA dan IPS (Kompas, 1/11/2008).
Tak hanya itu, kurang favoritnya bahasa Indonesia juga menyebabkan
rendahnya minat siswa memilih jurusan Bahasa Indonesia di perguruan
tinggi. Akibatnya, jurusan Bahasa Indonesia di sejumlah perguruan tinggi
kekurangan mahasiswa, bahkan ada yang terancam ditutup.
Menekuni beberapa perangkaan di atas barangkali benar kalau ada yang
mengatakan bahwa pesona bahasa Indonesia telah memudar dan tak lagi
sakti. Kalah dengan bahasa asing, terutama Inggris dan Mandarin.
Guru bahasa dadakan
Beberapa asnad (bukti) di atas juga memunculkan pertanyaan penting:
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pesona bahasa Indonesia pudar.
Dan, upaya seperti apa yang harus dilakukan agar pesona itu hadir
kembali.
Berdasarkan pembacaan saya, ada tiga sebab. Pertama, tidak semua
siswa mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia dari guru (sarjana) Bahasa
Indonesia. Karena kurangnya jumlah pengajar, guru berkompetensi di luar
rumpun bahasa, misalnya guru Olahraga, Fisika, atau Matematika terpaksa
(dipaksa?) mengajar Bahasa Indonesia.
Tak masalah jika guru dadakan itu tergolong seorang munsyi—komprehensi
ganda antara seorang dan inklanasi kesukacitaan berbahasa Indonesia, dan
karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seorang yang tertantang
menghasilkan bentuk bahasa tulis kreatif dalam identitas kepujanggaan di
atas sifat-sifat kedibyaan budaya (Alif Danya Munsyi, 2005). Jika
gurunya guru dadakan, hitung sendiri risiko ”kekacauan” (kognisi,
afeksi, psikomotorik) keberbahasaan yang akan timbul.
Oleh sebab itu, kalau memang secara kuantitas dan kualitas guru Bahasa
Indonesia sudah mentok, menurut hemat saya, salah satu cara untuk
mengatasi persoalan itu adalah dengan meminta para munsyi turun
gelanggang, mengajar siswa dan guru.
Kedua, tujuan penilaian kurang dipahami banyak pihak. Yang
dikejar sekadar nilai akhir yang bersifat kuantitatif. Berbicara
tentang bahasa tentu akan berkaitan dengan ekspresi/praktik bahasa
(aspek kualitatif).
Dari
segi praktik, bahasa mempunyai empat ranah penguasaan. Sesuai urutan
tumbuh kembang manusia, yaitu aspek mendengarkan (listening), berbicara
(speaking), membaca (reading), dan menulis (writing).
Mestinya siswa didorong mengaitkan apa yang mereka dapat dengan
pengalaman mereka sendiri saat menghabiskan jejulur waktu kehidupan; di
sekolah, rumah, maupun lingkungan pergaulan.
”Ketika siswa dapat mengaitkan dengan pengalaman sendiri, mereka
menemukan makna dan makna memberi mereka alasan untuk belajar,” tulis
ELaine B Johnson dalam Contextual Teaching and Learning.
Ketiga,
bahasa Indonesia, ibarat produk, ia lebih sering ditawarkan secara
inferior. Tidak dikemas bagus, tetapi ala kadarnya, monoton. Guru
sebagai pemasar tidak mampu meyakinkan calon pembeli bahwa produk yang
dibawanya itu penting dan penuh manfaat.
Maka dari itu, perlu satu terobosan tentang bagaimana mengemas
pembelajaran bahasa Indonesia agar menarik sehingga menerbitkan rasa
cinta dan semangat belajar. Kalau cinta, para siswa akan memberikan
perhatian tinggi.
Terobosan baru, misalnya, dari aspek writing dapat memanfaatkan blog
sebagai ruang kreatif siswa. Tabiat asli blog yang bersifat personal
akan memampukan mereka menulis tentang apa pun yang mereka suka,
sepanjang apa pun yang mereka mampu. Dalam ranah listening, reading, dan
speaking, siswa juga secara langsung dapat dikenal dan sentuhkan pada
dunia yang sangat erat kaitannya dengan bahasa Indonesia, yaitu dunia
literasi (keberaksaraan). Lebih spesifik lagi adalah dunia perbukuan dan
jurnalistik.
Secara periodik pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas melalui
kunjungan ke pameran buku, ke rumah para pengarang dan penulis,
melibatkan diri dalam diskusi perbukuan, kunjungan ke media massa dan
penerbit buku (wisata baca), dan lain sebagainya. Dengan begitu,
pembelajaran bahasa Indonesia menjadi hidup, dinamis, dan penuh
kejutan-kejutan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar